Sosialitas Manusia, Hubungan Korelasi "Aku" dan "Yang Lain" - Sosialitas manusia itu suatu struktur yang tidak dapat tidak ada pada kodrat manusia. Kenyataan bahwa adanya manusia, atau keberadaan manusia ditandai dengan kebersamaannya dengan yang-lain adalah sebuah kenyataan manusia yang tak dapat dibantah lagi.
Menurut Sudiarja dalam bukunya Filsafat Sosial, ciri-ciri sosialitas manusia itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, sosialitas manusia atau hubungan antarmanusia mempunyai dimensi yang sangat luas. Memang dapat dikatakan bahwa dalam pengalaman hidupnya, manusia menjadi manusia hanya kalau ia bergaul dan bersekutu dengan manusia lain. Manusia tidak mungkin hidup sendirian, “no man is an island” kata sebuah pepatah. Aristoteles menyebut manusia sebagai “zoon politicon”, makhluk sosial, sedang para filsuf eksistensialis pun menegaskan kembali secara baru eksistensi manusia sebagai Mitsein (ada-bersama) (Heidegger) atau Coexistence (mengandaikan keberadaan yang lain) (Gabriel Marcel). Inilah hakikat sejati dari sosialitas manusia. Manusia tidak dapat disebut sebagai manusia selain berkat kehidupan sosialnya, kebersamaannya dengan yang lain. Sosialitas merupakan ciri hakiki yang tak teringkari, bukan ciri yang ditambahkan pada manusia atau kondisi yang ditentukan dari luar, melainkan sesuatu yang melekat pada dirinya sejak lahirnya .
Kedua, sosialitas yang terkait dengan kodrat manusia mengarah pada kemanusiaan yang lebih luas, penuh dan lebih sempurna. Sosialitas manusia adalah sosialitas yang terbuka, yang prospektif, yang dapat berkembang ke arah yang baik, sejauh anggota-anggota masyarakat menyadari prospek dan bertanggungjawab atasnya. Meskipun demikian sebagaimana penjelasan di atas perlu diketahui bahwa hubungan sosial itu sangat kompleks dan meliputi taraf-taraf yang berbeda. Contoh: hubungan yang dialami anak-anak berlainan dengan orang dewasa, demikian juga pengalaman sosial orang-orang primitif berlainan dengan orang-orang modern. Yang menjadi pertanyaan di sini: Apakah ada hubungan kausal (sebab-akibat) antara keduanya? Apakah masyarakat berkembang secara evolutif dari yang sederhana menuju yang kompleks? Sampai saat ini terdapat beberapa teori yang sulit didamaikan. Hal ini menjadi salah satu bahan pertimbangan filsafat sosial yang penting.
Ketiga, hubungan sosial yang terjadi ada dua sebab, yaitu : (1) hubungan sosial terjadi karena ikatan yang akrab entah karena kesamaan kelas, etnis, religi atau budaya lainnya. Hubungan sosial ini terjadi lebih karena naluri primordial, alami. Oleh karena itu hubungan sosial ini lebih bersifat emosional; ikatan yang terjadi bersifat “dari dalam” anggota-anggota kelompok sosial itu. (2) Hubungan sosial terjadi karena saling berkebutuhan satu terhadap yang lain. Hubungan sosial ini lebih bersifat rasional dan menghasilkan pembagian sosial dalam fungsi-fungsi yang teratur; ikatan yang terjadi bersifat “dari luar”. Dalam sosiologi kelompok sosial yang pertama disebut “Paguyuban” dan kelompok sosial yang kedua disebut “Patembayan”. Keempat, kodrat sosial manusia sebagai kenyataan kebersamaan harus tetap dipandang dalam kerangka “otonomi dan kebebasan” manusia, yang dari dirinya masih memungkinkan berbagai macam bentuk hubungan sosial.
Namun dari semua ciri-ciri manusia diatas hakikinya bahwa manusia itu sadar akan dirinya bersama dengan yang lain di ‘dunia’. Sudah merupakan suatu kenyataan bahwa manusia bersifat ‘plural’, dengan banyak pusat yang otonom yang salah satunya adalah sosialitas manusia yang menunjukkan kebersamaannya dengan yang-lain. Hubungan antara ‘Aku’ dan yang-lain sampai kini hanya dieksplisitasikan secara ‘formal’ saja. Maksudnya ‘adanya’ yang-lain dituntut sebagai syarat mutlak; yang lain itu juga berupa substansi dan subjek bagi dirinya. Namun, belum dijawab pertanyaan mengenai hubungan antara ‘aku’ dan yang-lain. Apakah hanya berdampingan saja, dengan terisolir satu sama lain? atau terdapat hubungan langsung? Apakah mungkin selalu berhubungan? Apakah hubungan itu dangkal atau mendalam? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan demikian dibutuhkan refleksi metafisis dengan membuka selubung ’ada’nya ’aku’ dan yang-lain dari ’aku’ tersebut, sehingga terlihat struktur-struktur hubungan dan korelasi antara ’aku’ dan yang-lain itu.
Refleksi metafisis korelasi 'Aku' dan yang-lain
Kesadaran manusia tentang “Aku” sebagai subjek mengandaikan cara berada “yang lain” agar “Aku” berada sepenuhnya, artinya “aku” sebagai subjek tidak akan pernah ada, manakala tidak ada korelasi yang saling mengadakan dengan “yang lain”. “Aku” saling menandai dan ditandai oleh “yang lain” dari “aku”.
Kesadaranku tentang diriku sebagai substansi dan subjek tertentu juga menuntut sebagai syarat mutlak (untuk kesadaran itu) adanya yang lain yang tertentu pula. Kesadaran tentang “Aku” yang memahami diri sebagai mahasiswa, pelayan, tukang becak, guru, politisi, OB, direktur, pedagang, perampok, pencuri dll, semua itu menghubungkan kesadaran “aku” dengan lingkungan yang lebih luas. Semua aspek termasuk kegiatan dari kesadaran tentang “aku” misalnya melihat, mendengar, menyentuh, menikmati merasa, itu semua mengarahkan kesadaran “aku” kepada yang-lain., melibatkan orang-lain, benda lain.
Tidak ada kesadaran tentang “aku” yang murni. Sebentar saja memikirkan diri lepas atau tersekat dari yang-lain itu tidak mungkin. Semua kesadaran tentang ”aku”, adalah kesadaran bersama-dengan-yang-lain. Bukan ”aku” berada dulu dan menjadi manusia dulu baru kemudian aku masuk dunia, dan mengadakan hubungan. Akan tetapi kesadaran tentang ”aku” selalu berada dalam situasi-tertentu; selalu merupakan bagian dari dunia-dunia tertentu. Memang, keadaran tentang ”aku” dapat mengundurkan diri dari salah satu ’dunia’ tertentu, misalnya dari ’dunia’ mahasiswa, namun seketika itu juga ’aku’ ditampung oleh ’dunia’ yang lain, misalnya ’dunia’ karyawan.
Kesadaran tentang ’aku’ selalu diartikan oleh yang-lain. Baru di dalam situasi dan dalam relasi dengan yang-lain aku mendapat kedudukan dan arti juga peranan. Hanya karena mempunyai arti untuk yang-lain, aku dapat memahami diri dan mengakui diri. Misalnya sebagai mahasiswa saya seluruhnya dicap oleh pengakuan terhadap yang-lain, dan oleh pengakuan yang-lain terhadap saya. Jika saya sebagai mahasiswa tidak mengakui dosen, atau dosen tidak mengakui saya sebagai mahasiswa, maka saya juga kehilangan makna tentang cara berada saya sebagai mahasiswa. Hanya dengan menerima ketertentuan di dalam yang-lain, menurut arti yang tepat juga keberlainannya, aku juga menerima ketertentuan. Tanpa itu pengakuan akan ”aku” atau identitasku mengabur dan kehilangan batas-batasnya yang jelas dan dapat ditangkap.
Kesadaran tentang ’aku’ selalu diadakan oleh yang-lain. Hanya kalau ’begini’ atau ’begitu’, aku juga dapat ’berada’. Fakta-fakta sekunder membuat komplit keberadaanku sendiri, jadi arti-arti dan makna-makna menentukan ’ada’nya aku. Jikalau aku bukan mahasiswa dan/atau pelayan dan/atau pekerja –jadi jika saya bukan apa-apa – maka saya tidak ada. Kesadarn tentang ’aku’ selalu menurut ’ada’nya pula tergantung yang-lain. Hanya sejauh saya mengakui orang tua, dosen, rumah, teman, negara, maka saya juga ada. Kalau tidak saya menjadi ’nol’. Dan sebaliknya, pengakuan mereka memberikan kepadaku makna bahwa ’aku’ ada.
’ada’ku saya terima dari ’ada’nya yang lain itu, sebagai pemberian dan karunia, atau sebagai hukuman dan kutukan. Sebab mereka yang-lain memberikan nama dan tempat kepadaku; memberikan penghargaan dan fungsi. Oleh sebab itu, saya ’ada’ sejauh saya menerima manusia dan semua sekitar saya justeru sebagai yang-lain; mereka tidak keluar dari diri saya; mereka mendekati saya dari luar saya; mereka tidak saya kuasasi. Mereka seakan-akan menciptakan ’aku’ dengan pengakuan mereka (yang-lain) yang otonom.
Sebaliknya, tanpa ”aku” maka tidak ada yang-lain. Yang-lain tergantung pada ”aku” menurut adanya yang konkret. Mereka memiliki diri sesuai dengan tempat dan peranan yang saya berikan kepadanya; mereka menerima kesendiriannya dan pengakuan-diri dari saya. Andaikata ”aku” tidak ada, maka seluruh duniaku tidak ada juga. Satu kesan pun tidak ada, sebab seluruhnya diwarnai dan diresapi oleh kehadiranku, dan oleh ”respons” dari ”yang-lain” terhadap aku ini. Andaikata ”aku” tidak ada, maka orangtuaku tidak ada, suasana rumah seperti sekarang tidak ada; dibayangkan saja keadaan seperti itu, sudah mustahil. Heidegger mengatakan, ”Wenn kein Dasein existiert, ist keine Welt da”; tanpa manusia, dunia tidak tampak.
Tidak ada suatu dunia ”an-sich”, yang tertutup pada diri sendiri. Tidak ada dunia yang dapat berfungsi sebagai wasit netral dan serba objektif, yang dapat dipakai sebagai patokan mutlak untuk segala macam pengertian dan penghargaan. Yang-lain selalu telah ada-untuk-aku, memiliki arti dan nilai ”untuk-aku”, dan menerima itu dari saya. Fakta yang sungguh-sungguh ada, juga memuat arti dan nilai bagiku.
Dengan demikian maka, hubungan antara aku dan yang lain sejatinya saling mengandaikan, menciptakan dan kesaling libat melibatkan utuk keberadaan aku-dan-yang-lain. ”Aku” dan yang-lain (entah manusia entah bukan), sejauh merupakan substansi yang berdikari, begitu jauh pula berhubungan timbal balik, dengan saling memberikan arti dan nilai, dan saling mengadakan. Bersama-sama merupakan keseluruhan pusat-pusat yang berotonomi-di-dalam-korelasi dan berkorelasi-di-dalam-otonomi. Atau dengan mengungkapkannya secara lebih radikal lagi sebagaimana refleksi metafisis Anton Bakker terhadap sosialitas manusia bahwa ‘aku’ dan ‘yang-lain’ itu identik-di-dalam-distingsi sekaligus disting-di-dalam-identitas.
Beragam Pandangan-pandangan Filosofis tentang Korelasi 'Aku' dan 'Yang-lain'
Sejauh ini dalam tradisi filsafat ada beragam pandangan para filsof dalam merefleksikan korelasi antara ”aku” dan yang-lain, beragam bentuknya, mulai dari Monisme yang mutlak tidak mengakui yang-lain sebagai substansi-substansi lain sama sekali. Bagi monisme korelasi antara kesadaran ”aku” dengan yang-lain, sepenuhnya merupakan otonomi subjektif dari ”aku” yang memiliki kesadaran. Tokoh dalam pandangan monisme ini adalah Parmenides seorang filsuf Yunani kuna. Ada juga pandangan yang melalaikan (ignore) korelasi antara kesadaran ”aku” dengan yang-lain. Sebagaimana Emanuel Kant salah seorang tokoh filsuf yang menganggap bahwa dunia luar memang diterima, tetapi sama sekali tidak diketahui hakikatnya. ”Aku” menerima kesan-kesan dari yang-lain, tetapi kesan-kesan itu diklasifikasikan menurut ”forma e apriori” (bentuk penegasian kesadaran subjek) di dalam diriku, sehingga relasi yang tepat terhadap yang-lain tidak diketahui. Begitu juga fenomenologi Husserl, melalaikan (ignore) terhadap yang-lain karena secara ketat menyelidiki fenomena yang disadari sejauh yang disadari oleh sebab sifat intensionalitasnya dengan mendarat kepada fenomena dan membiarkan fenomena yang-lain membuka diri.
Pandangan yang lebih seimbang dalam refleksi filsafat tentang yang-lain dapat dilihat dalam refleksi eksistensialisme. Bagi eksistensialisme, ’ada’ku justeru karena kebersamaanku dengan yang-lain. ”Aku” dan ’yang-lain’ saling memberi arti dan nilai, dan saling menciptakan. Salah satu tokoh terpenting dalam menghadirkan eksistensialisme sebagai salah satu refleksi filsafat tentang manusia adalah Martin Heidegger seorang tokoh filsuf yang melahirkan murid-murid eksistensialis sebperti Sartre, Marcuse, Arent dll. Oleh sebab itu, ada baiknya jika dalam kesempatan ini, sebagai penggugah untuk melihat korelasi antara kesadaran manusia tentang ”aku” subjektif dengan ’yang-lain’ kita deskripsikan melalui refleksi pemikiran filsafat Martin Heidegger.
Refleksi Heidegger mengenai kesadaran 'aku' dengan 'yang lain'
Manusia dalam refleksi filsafat Heidegger adalah sesuatu yang sudah terjebak ‘di sana’, di dalam dunia. Untuk pengertian tentang manusia itu Ia mengganti sebutan manusia dengan Dasein, yang dalam bahasa Jerman berarti da=disana, sein=ada, artinya manusia itu sudah ada disana.
Ciri dasar manusia bagi Heidegger adalah adalah bahwa manusia Ada-di-dalam-dunia (in-der-welt-sein). Dunia yang dimaksud bukan bumi atau alam semesta saja, tapi juga dari sudut pandang dasein bahwa dunia adalah suatu tempat untuk dimukimi (bewohnt). Daseinlah yang mampu menduniakan tempat ia berada, misalnya; dunia pelajar, dunia anak-anak, dunia Filsafat dll. Sedang kata “dalam” pada ada-di-dalam-dunia, bukan maksudnya terletak pada suatu tempat, melainkan entity sebagai sebuah keseluruhan atau keterlibatan dalam mana ia dilemparkan. Misalnya kita menggambarkan si-X ‘dalam’ puncak kenikmatan saat si-X mengeluarkan cairan ketika orgasme, kata ‘dalam’ disini bukan terletak tapi keterlibatan dasein akan dunianya. Ciri ada-dalam-dunia (in-der-welt-sein) ini juga sebangun dengan dasein itu sendiri, karena kita mungkin kesulitan membayangkan dasein dengan ciri ada-juga-yang-bisa-di-luar-dunia karena melampaui “ada” dasein itu sendiri.
Ada-di-dalam-dunia juga berarti mengandaikan hubungan dasein dengan mengada-mengada lain. Dunia dasein adalah juga dunia bersama (mitwelt). Ada-dalam adalah juga Ada-dengan yang lainnya. Hal itu adalah Ada-dalam-dunia-bersama-dasein lain yang juga berarti bersama-ada-disana (mit dasein).
Ada tiga macam mengada yang selalu berhubungan dengan dasein dengan cara berada yang berbeda-beda satu sama lain maupun dengan dasein sendiri. Alat-alat (zuhandenes), benda-benda yang bukan alat (vorhandenes), dan dasein lain (mit-dasein). Kita dapat merasakannya jika kita memandangi sebuah peristiwa dalam satu waktu. Peristiwa diskusi tatap muka dikampus misalnya, pena dan buku serta meja dan kursi diruangan kita berbeda dengan air hujan dan bebatuan diluar ruang. Yang pertama merupakan alat-alat dari produk cultural (zuhandenes), sedang yang kedua adalah benda-benda alamiah yang tergeletak begitu saja (vorhandenes). Yang membedakan kedua benda tersebut adalah cara mengadanya. Zuhandenes secara harafiah berarti ‘siap-untuk-tangan’. ‘Ada’ alat-alat ini menurut Heidegger berstruktur ‘supaya’ atau ‘untuk’ (um-zu) bagi dasein, sesuatu yang kehilangan cirinya sebagai ‘untuk sesuatu’ atau netral terhadap keterlibatan kita akan kehilangan ada-nya sebagai zuhandenes, pena yang tidak terpakai karena tintanya sudah habis misalnya. Keterlibatan praktis dasein dengan alat-alat ini disebut mengurus (besorgen). Pandangan yang menyeluruh dan artikulasi atas seluruh system acuan itu disebut melihat sekeliling (umsicht), jika ada gangguan, misalnya penanya macet atau kursinya basah, maka seluruh system acuan yang diandaikannya begitu saja akan tersingkap dan disadari.
Mengada yang ketiga adalah mitdasein yang berarti bersama-ada-disana, dalam hal ini dasein berhubungan dengan dasein lain atau orang lain. Kontak dengan mitdasein terjadi lewat besorgen (dalam mengurus zuhandenes dan vorhandenes), cara mengadanya berbeda dengan mengada lain, ia tidak diurus atau ditangani melainkan mendapat pemeliharaan atau perhatian (fursorgen). Cara berhubungan dasein sebagai dalam Ada-dalam-dunia dapat dijelaskan lewat kolom seperti di bawah ini;
Diambil dari: Hardiman, Heidegger dan mistik keseharian, 2003: hal 60.
Jika tabel diatas berfungsi untuk menunjukkan cara dasein berhubungan dalam Ada-dalam-dunia, maka berikut adalah diagram untuk menjelaskan struktur eksistensi Ada-dalam-dunia yang menunjukkan multiplisitas hubungan dasein di-dalam-dunia.
Diambil dari: Gahral, Matinya metafisika barat, 2001, hal 66; lihat juga
Polt, Heidegger; An Introduction, 1999: hal 61
Keterangan diagram diatas dimana; Dunia adalah totalitas fungsi-fungsi, tugas-tugas (reference) yang direpresentasikan dengan panah-panah dalam diagram.
Cara berada mitdasein itu disebut Heidegger sebagai das man (orang lain). “kebersamaan”, menurut heidegger “habis-habisan melarutkan kenyataan sendiri kedalam cara berada ‘orang-orang lain’, sedemikian rupa sehingga perbedaan dan kekhasan ‘orang-orang lain’ malah lenyap. Didalam keumuman dan kerata-rataan ini das man mengembangkan kediktatorannya sendiri; kita membaca, melihat dan menilai karya sastra dan seni seperti orang melihat dan menilainya; kita menarik diri dari ‘kerumunan besar’ seperti orang’; kita merasa gusar juga seperti orang merasa gusar”. Kita larut dalam kebersamaan bersama mitdasein (dasein lain) dan ini yang kemudian membentuk dunia.
Dalam hal ini dasein kehilangan maknanya. Jika dasein sepenuhnya melarutkan diri dengan cara mengada das man, maka dasein terasing dari ‘ada’nya. Ini yang kemudian disebut heidegger dengan kesadaran in-otentik sebagai larut dalam keseharian. Namun dasein tak bisa sepenuhnya berhadap-hadapan dengan ‘ada’nya karena cirinya yang in-der-welt-sein (ada-di-dalam-dunia). Akan tetapi ada satu momen yang membuat ‘ada’ tersingkap berhadapan dengan dasein, jika kemudian dasein melompat dari patahan keseharian, misalnya si-x stress dalam kesehariannya dan merenung memikirkan nasibnya. Ini yang disebut Heidegger sebagai momen otentik, dan disini dasein kemudian akan menemukan sebuah suasana hati mendasar yang menunjuk pada kekosongannya, di sini ia bertemu dengan ‘ada’nya.
Suasana hati itulah yang nanti dibicarakan Heidegger kemudian dalam menyingkap ‘ada’ (‘ada’ merupakan keumuman metafisik dari ‘aku’ subjektif), ialah angst (kecemasan) suasana hati tanpa objek ia ditala dan bergerak menuju ada. Jika dihubungkan dengan horizon temporalitas, di sini dasein menemukan kemungkinannya dalam ketiadaan, ada menuju kematian (sein zum tode). Heidegger menggambarkan dua momen sikap desein ini dengan kata yang begitu puitis. “manusia itu benar sekaligus palsu. Bukan karena orang sengaja menjadi benar sekaligus palsu, malainkan karena ‘ada’ manusia itu sendiri tidak tersingkap seluruhnya seperti juga tidak seluruhnya terselubung”.
Seluruh hubungan dasein dalam Ada-dalam-dunia menandakan bahwa dasein jauh berbeda dengan terletaknya entitas lain dalam dunia. Bagi dasein, dunia tidak sama dengan bumi atau alam-semesta belaka, melainkan dunia yang dalam sudut pandang dasein sebagai suatu tempat untuk dimukimi. Bahwa dasein Ada-dalam-dunia, adalah bermukim di dunia. Ia kerasan dan memukimi dunianya, inilah korelasi yang lebih seimbang dari “aku” subjektif yang direfleksikan sebagai dasein dan yang-lain atau yang dipahami Heidegger sebagai seinde yakni adaan-adaan lain diluar dasein (diluar manusia).
image source: www.philosophy.ed.ac.uk |
Pertama, sosialitas manusia atau hubungan antarmanusia mempunyai dimensi yang sangat luas. Memang dapat dikatakan bahwa dalam pengalaman hidupnya, manusia menjadi manusia hanya kalau ia bergaul dan bersekutu dengan manusia lain. Manusia tidak mungkin hidup sendirian, “no man is an island” kata sebuah pepatah. Aristoteles menyebut manusia sebagai “zoon politicon”, makhluk sosial, sedang para filsuf eksistensialis pun menegaskan kembali secara baru eksistensi manusia sebagai Mitsein (ada-bersama) (Heidegger) atau Coexistence (mengandaikan keberadaan yang lain) (Gabriel Marcel). Inilah hakikat sejati dari sosialitas manusia. Manusia tidak dapat disebut sebagai manusia selain berkat kehidupan sosialnya, kebersamaannya dengan yang lain. Sosialitas merupakan ciri hakiki yang tak teringkari, bukan ciri yang ditambahkan pada manusia atau kondisi yang ditentukan dari luar, melainkan sesuatu yang melekat pada dirinya sejak lahirnya .
Kedua, sosialitas yang terkait dengan kodrat manusia mengarah pada kemanusiaan yang lebih luas, penuh dan lebih sempurna. Sosialitas manusia adalah sosialitas yang terbuka, yang prospektif, yang dapat berkembang ke arah yang baik, sejauh anggota-anggota masyarakat menyadari prospek dan bertanggungjawab atasnya. Meskipun demikian sebagaimana penjelasan di atas perlu diketahui bahwa hubungan sosial itu sangat kompleks dan meliputi taraf-taraf yang berbeda. Contoh: hubungan yang dialami anak-anak berlainan dengan orang dewasa, demikian juga pengalaman sosial orang-orang primitif berlainan dengan orang-orang modern. Yang menjadi pertanyaan di sini: Apakah ada hubungan kausal (sebab-akibat) antara keduanya? Apakah masyarakat berkembang secara evolutif dari yang sederhana menuju yang kompleks? Sampai saat ini terdapat beberapa teori yang sulit didamaikan. Hal ini menjadi salah satu bahan pertimbangan filsafat sosial yang penting.
Ketiga, hubungan sosial yang terjadi ada dua sebab, yaitu : (1) hubungan sosial terjadi karena ikatan yang akrab entah karena kesamaan kelas, etnis, religi atau budaya lainnya. Hubungan sosial ini terjadi lebih karena naluri primordial, alami. Oleh karena itu hubungan sosial ini lebih bersifat emosional; ikatan yang terjadi bersifat “dari dalam” anggota-anggota kelompok sosial itu. (2) Hubungan sosial terjadi karena saling berkebutuhan satu terhadap yang lain. Hubungan sosial ini lebih bersifat rasional dan menghasilkan pembagian sosial dalam fungsi-fungsi yang teratur; ikatan yang terjadi bersifat “dari luar”. Dalam sosiologi kelompok sosial yang pertama disebut “Paguyuban” dan kelompok sosial yang kedua disebut “Patembayan”. Keempat, kodrat sosial manusia sebagai kenyataan kebersamaan harus tetap dipandang dalam kerangka “otonomi dan kebebasan” manusia, yang dari dirinya masih memungkinkan berbagai macam bentuk hubungan sosial.
Namun dari semua ciri-ciri manusia diatas hakikinya bahwa manusia itu sadar akan dirinya bersama dengan yang lain di ‘dunia’. Sudah merupakan suatu kenyataan bahwa manusia bersifat ‘plural’, dengan banyak pusat yang otonom yang salah satunya adalah sosialitas manusia yang menunjukkan kebersamaannya dengan yang-lain. Hubungan antara ‘Aku’ dan yang-lain sampai kini hanya dieksplisitasikan secara ‘formal’ saja. Maksudnya ‘adanya’ yang-lain dituntut sebagai syarat mutlak; yang lain itu juga berupa substansi dan subjek bagi dirinya. Namun, belum dijawab pertanyaan mengenai hubungan antara ‘aku’ dan yang-lain. Apakah hanya berdampingan saja, dengan terisolir satu sama lain? atau terdapat hubungan langsung? Apakah mungkin selalu berhubungan? Apakah hubungan itu dangkal atau mendalam? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan demikian dibutuhkan refleksi metafisis dengan membuka selubung ’ada’nya ’aku’ dan yang-lain dari ’aku’ tersebut, sehingga terlihat struktur-struktur hubungan dan korelasi antara ’aku’ dan yang-lain itu.
Refleksi metafisis korelasi 'Aku' dan yang-lain
Kesadaran manusia tentang “Aku” sebagai subjek mengandaikan cara berada “yang lain” agar “Aku” berada sepenuhnya, artinya “aku” sebagai subjek tidak akan pernah ada, manakala tidak ada korelasi yang saling mengadakan dengan “yang lain”. “Aku” saling menandai dan ditandai oleh “yang lain” dari “aku”.
Kesadaranku tentang diriku sebagai substansi dan subjek tertentu juga menuntut sebagai syarat mutlak (untuk kesadaran itu) adanya yang lain yang tertentu pula. Kesadaran tentang “Aku” yang memahami diri sebagai mahasiswa, pelayan, tukang becak, guru, politisi, OB, direktur, pedagang, perampok, pencuri dll, semua itu menghubungkan kesadaran “aku” dengan lingkungan yang lebih luas. Semua aspek termasuk kegiatan dari kesadaran tentang “aku” misalnya melihat, mendengar, menyentuh, menikmati merasa, itu semua mengarahkan kesadaran “aku” kepada yang-lain., melibatkan orang-lain, benda lain.
Tidak ada kesadaran tentang “aku” yang murni. Sebentar saja memikirkan diri lepas atau tersekat dari yang-lain itu tidak mungkin. Semua kesadaran tentang ”aku”, adalah kesadaran bersama-dengan-yang-lain. Bukan ”aku” berada dulu dan menjadi manusia dulu baru kemudian aku masuk dunia, dan mengadakan hubungan. Akan tetapi kesadaran tentang ”aku” selalu berada dalam situasi-tertentu; selalu merupakan bagian dari dunia-dunia tertentu. Memang, keadaran tentang ”aku” dapat mengundurkan diri dari salah satu ’dunia’ tertentu, misalnya dari ’dunia’ mahasiswa, namun seketika itu juga ’aku’ ditampung oleh ’dunia’ yang lain, misalnya ’dunia’ karyawan.
Kesadaran tentang ’aku’ selalu diartikan oleh yang-lain. Baru di dalam situasi dan dalam relasi dengan yang-lain aku mendapat kedudukan dan arti juga peranan. Hanya karena mempunyai arti untuk yang-lain, aku dapat memahami diri dan mengakui diri. Misalnya sebagai mahasiswa saya seluruhnya dicap oleh pengakuan terhadap yang-lain, dan oleh pengakuan yang-lain terhadap saya. Jika saya sebagai mahasiswa tidak mengakui dosen, atau dosen tidak mengakui saya sebagai mahasiswa, maka saya juga kehilangan makna tentang cara berada saya sebagai mahasiswa. Hanya dengan menerima ketertentuan di dalam yang-lain, menurut arti yang tepat juga keberlainannya, aku juga menerima ketertentuan. Tanpa itu pengakuan akan ”aku” atau identitasku mengabur dan kehilangan batas-batasnya yang jelas dan dapat ditangkap.
Kesadaran tentang ’aku’ selalu diadakan oleh yang-lain. Hanya kalau ’begini’ atau ’begitu’, aku juga dapat ’berada’. Fakta-fakta sekunder membuat komplit keberadaanku sendiri, jadi arti-arti dan makna-makna menentukan ’ada’nya aku. Jikalau aku bukan mahasiswa dan/atau pelayan dan/atau pekerja –jadi jika saya bukan apa-apa – maka saya tidak ada. Kesadarn tentang ’aku’ selalu menurut ’ada’nya pula tergantung yang-lain. Hanya sejauh saya mengakui orang tua, dosen, rumah, teman, negara, maka saya juga ada. Kalau tidak saya menjadi ’nol’. Dan sebaliknya, pengakuan mereka memberikan kepadaku makna bahwa ’aku’ ada.
’ada’ku saya terima dari ’ada’nya yang lain itu, sebagai pemberian dan karunia, atau sebagai hukuman dan kutukan. Sebab mereka yang-lain memberikan nama dan tempat kepadaku; memberikan penghargaan dan fungsi. Oleh sebab itu, saya ’ada’ sejauh saya menerima manusia dan semua sekitar saya justeru sebagai yang-lain; mereka tidak keluar dari diri saya; mereka mendekati saya dari luar saya; mereka tidak saya kuasasi. Mereka seakan-akan menciptakan ’aku’ dengan pengakuan mereka (yang-lain) yang otonom.
Sebaliknya, tanpa ”aku” maka tidak ada yang-lain. Yang-lain tergantung pada ”aku” menurut adanya yang konkret. Mereka memiliki diri sesuai dengan tempat dan peranan yang saya berikan kepadanya; mereka menerima kesendiriannya dan pengakuan-diri dari saya. Andaikata ”aku” tidak ada, maka seluruh duniaku tidak ada juga. Satu kesan pun tidak ada, sebab seluruhnya diwarnai dan diresapi oleh kehadiranku, dan oleh ”respons” dari ”yang-lain” terhadap aku ini. Andaikata ”aku” tidak ada, maka orangtuaku tidak ada, suasana rumah seperti sekarang tidak ada; dibayangkan saja keadaan seperti itu, sudah mustahil. Heidegger mengatakan, ”Wenn kein Dasein existiert, ist keine Welt da”; tanpa manusia, dunia tidak tampak.
Tidak ada suatu dunia ”an-sich”, yang tertutup pada diri sendiri. Tidak ada dunia yang dapat berfungsi sebagai wasit netral dan serba objektif, yang dapat dipakai sebagai patokan mutlak untuk segala macam pengertian dan penghargaan. Yang-lain selalu telah ada-untuk-aku, memiliki arti dan nilai ”untuk-aku”, dan menerima itu dari saya. Fakta yang sungguh-sungguh ada, juga memuat arti dan nilai bagiku.
Dengan demikian maka, hubungan antara aku dan yang lain sejatinya saling mengandaikan, menciptakan dan kesaling libat melibatkan utuk keberadaan aku-dan-yang-lain. ”Aku” dan yang-lain (entah manusia entah bukan), sejauh merupakan substansi yang berdikari, begitu jauh pula berhubungan timbal balik, dengan saling memberikan arti dan nilai, dan saling mengadakan. Bersama-sama merupakan keseluruhan pusat-pusat yang berotonomi-di-dalam-korelasi dan berkorelasi-di-dalam-otonomi. Atau dengan mengungkapkannya secara lebih radikal lagi sebagaimana refleksi metafisis Anton Bakker terhadap sosialitas manusia bahwa ‘aku’ dan ‘yang-lain’ itu identik-di-dalam-distingsi sekaligus disting-di-dalam-identitas.
Beragam Pandangan-pandangan Filosofis tentang Korelasi 'Aku' dan 'Yang-lain'
Sejauh ini dalam tradisi filsafat ada beragam pandangan para filsof dalam merefleksikan korelasi antara ”aku” dan yang-lain, beragam bentuknya, mulai dari Monisme yang mutlak tidak mengakui yang-lain sebagai substansi-substansi lain sama sekali. Bagi monisme korelasi antara kesadaran ”aku” dengan yang-lain, sepenuhnya merupakan otonomi subjektif dari ”aku” yang memiliki kesadaran. Tokoh dalam pandangan monisme ini adalah Parmenides seorang filsuf Yunani kuna. Ada juga pandangan yang melalaikan (ignore) korelasi antara kesadaran ”aku” dengan yang-lain. Sebagaimana Emanuel Kant salah seorang tokoh filsuf yang menganggap bahwa dunia luar memang diterima, tetapi sama sekali tidak diketahui hakikatnya. ”Aku” menerima kesan-kesan dari yang-lain, tetapi kesan-kesan itu diklasifikasikan menurut ”forma e apriori” (bentuk penegasian kesadaran subjek) di dalam diriku, sehingga relasi yang tepat terhadap yang-lain tidak diketahui. Begitu juga fenomenologi Husserl, melalaikan (ignore) terhadap yang-lain karena secara ketat menyelidiki fenomena yang disadari sejauh yang disadari oleh sebab sifat intensionalitasnya dengan mendarat kepada fenomena dan membiarkan fenomena yang-lain membuka diri.
Pandangan yang lebih seimbang dalam refleksi filsafat tentang yang-lain dapat dilihat dalam refleksi eksistensialisme. Bagi eksistensialisme, ’ada’ku justeru karena kebersamaanku dengan yang-lain. ”Aku” dan ’yang-lain’ saling memberi arti dan nilai, dan saling menciptakan. Salah satu tokoh terpenting dalam menghadirkan eksistensialisme sebagai salah satu refleksi filsafat tentang manusia adalah Martin Heidegger seorang tokoh filsuf yang melahirkan murid-murid eksistensialis sebperti Sartre, Marcuse, Arent dll. Oleh sebab itu, ada baiknya jika dalam kesempatan ini, sebagai penggugah untuk melihat korelasi antara kesadaran manusia tentang ”aku” subjektif dengan ’yang-lain’ kita deskripsikan melalui refleksi pemikiran filsafat Martin Heidegger.
Refleksi Heidegger mengenai kesadaran 'aku' dengan 'yang lain'
Manusia dalam refleksi filsafat Heidegger adalah sesuatu yang sudah terjebak ‘di sana’, di dalam dunia. Untuk pengertian tentang manusia itu Ia mengganti sebutan manusia dengan Dasein, yang dalam bahasa Jerman berarti da=disana, sein=ada, artinya manusia itu sudah ada disana.
Ciri dasar manusia bagi Heidegger adalah adalah bahwa manusia Ada-di-dalam-dunia (in-der-welt-sein). Dunia yang dimaksud bukan bumi atau alam semesta saja, tapi juga dari sudut pandang dasein bahwa dunia adalah suatu tempat untuk dimukimi (bewohnt). Daseinlah yang mampu menduniakan tempat ia berada, misalnya; dunia pelajar, dunia anak-anak, dunia Filsafat dll. Sedang kata “dalam” pada ada-di-dalam-dunia, bukan maksudnya terletak pada suatu tempat, melainkan entity sebagai sebuah keseluruhan atau keterlibatan dalam mana ia dilemparkan. Misalnya kita menggambarkan si-X ‘dalam’ puncak kenikmatan saat si-X mengeluarkan cairan ketika orgasme, kata ‘dalam’ disini bukan terletak tapi keterlibatan dasein akan dunianya. Ciri ada-dalam-dunia (in-der-welt-sein) ini juga sebangun dengan dasein itu sendiri, karena kita mungkin kesulitan membayangkan dasein dengan ciri ada-juga-yang-bisa-di-luar-dunia karena melampaui “ada” dasein itu sendiri.
Ada-di-dalam-dunia juga berarti mengandaikan hubungan dasein dengan mengada-mengada lain. Dunia dasein adalah juga dunia bersama (mitwelt). Ada-dalam adalah juga Ada-dengan yang lainnya. Hal itu adalah Ada-dalam-dunia-bersama-dasein lain yang juga berarti bersama-ada-disana (mit dasein).
Ada tiga macam mengada yang selalu berhubungan dengan dasein dengan cara berada yang berbeda-beda satu sama lain maupun dengan dasein sendiri. Alat-alat (zuhandenes), benda-benda yang bukan alat (vorhandenes), dan dasein lain (mit-dasein). Kita dapat merasakannya jika kita memandangi sebuah peristiwa dalam satu waktu. Peristiwa diskusi tatap muka dikampus misalnya, pena dan buku serta meja dan kursi diruangan kita berbeda dengan air hujan dan bebatuan diluar ruang. Yang pertama merupakan alat-alat dari produk cultural (zuhandenes), sedang yang kedua adalah benda-benda alamiah yang tergeletak begitu saja (vorhandenes). Yang membedakan kedua benda tersebut adalah cara mengadanya. Zuhandenes secara harafiah berarti ‘siap-untuk-tangan’. ‘Ada’ alat-alat ini menurut Heidegger berstruktur ‘supaya’ atau ‘untuk’ (um-zu) bagi dasein, sesuatu yang kehilangan cirinya sebagai ‘untuk sesuatu’ atau netral terhadap keterlibatan kita akan kehilangan ada-nya sebagai zuhandenes, pena yang tidak terpakai karena tintanya sudah habis misalnya. Keterlibatan praktis dasein dengan alat-alat ini disebut mengurus (besorgen). Pandangan yang menyeluruh dan artikulasi atas seluruh system acuan itu disebut melihat sekeliling (umsicht), jika ada gangguan, misalnya penanya macet atau kursinya basah, maka seluruh system acuan yang diandaikannya begitu saja akan tersingkap dan disadari.
Mengada yang ketiga adalah mitdasein yang berarti bersama-ada-disana, dalam hal ini dasein berhubungan dengan dasein lain atau orang lain. Kontak dengan mitdasein terjadi lewat besorgen (dalam mengurus zuhandenes dan vorhandenes), cara mengadanya berbeda dengan mengada lain, ia tidak diurus atau ditangani melainkan mendapat pemeliharaan atau perhatian (fursorgen). Cara berhubungan dasein sebagai dalam Ada-dalam-dunia dapat dijelaskan lewat kolom seperti di bawah ini;
Adaan / mengada (Seinde) | Istilah sehari-hari | Cara adaan /mengada (Seinart) | Sikap Dasein sehari-hari |
---|---|---|---|
Zuhandenes | Alat-alat | Untuk-sesuatu (um-zu) | Mengurus/ menangani (Besorgen) |
Vorhandenes | Benda-benda yang bukan alat-alat | Tersedia begitu saja | Tanpa minat menangani |
Mitdasein | Sesama Dasein atau manusia/orang lain | Ada-bersama (Mitsein) | Merawat/memelihara (Füsorge) |
Diambil dari: Hardiman, Heidegger dan mistik keseharian, 2003: hal 60.
Jika tabel diatas berfungsi untuk menunjukkan cara dasein berhubungan dalam Ada-dalam-dunia, maka berikut adalah diagram untuk menjelaskan struktur eksistensi Ada-dalam-dunia yang menunjukkan multiplisitas hubungan dasein di-dalam-dunia.
Polt, Heidegger; An Introduction, 1999: hal 61
Keterangan diagram diatas dimana; Dunia adalah totalitas fungsi-fungsi, tugas-tugas (reference) yang direpresentasikan dengan panah-panah dalam diagram.
Cara berada mitdasein itu disebut Heidegger sebagai das man (orang lain). “kebersamaan”, menurut heidegger “habis-habisan melarutkan kenyataan sendiri kedalam cara berada ‘orang-orang lain’, sedemikian rupa sehingga perbedaan dan kekhasan ‘orang-orang lain’ malah lenyap. Didalam keumuman dan kerata-rataan ini das man mengembangkan kediktatorannya sendiri; kita membaca, melihat dan menilai karya sastra dan seni seperti orang melihat dan menilainya; kita menarik diri dari ‘kerumunan besar’ seperti orang’; kita merasa gusar juga seperti orang merasa gusar”. Kita larut dalam kebersamaan bersama mitdasein (dasein lain) dan ini yang kemudian membentuk dunia.
Dalam hal ini dasein kehilangan maknanya. Jika dasein sepenuhnya melarutkan diri dengan cara mengada das man, maka dasein terasing dari ‘ada’nya. Ini yang kemudian disebut heidegger dengan kesadaran in-otentik sebagai larut dalam keseharian. Namun dasein tak bisa sepenuhnya berhadap-hadapan dengan ‘ada’nya karena cirinya yang in-der-welt-sein (ada-di-dalam-dunia). Akan tetapi ada satu momen yang membuat ‘ada’ tersingkap berhadapan dengan dasein, jika kemudian dasein melompat dari patahan keseharian, misalnya si-x stress dalam kesehariannya dan merenung memikirkan nasibnya. Ini yang disebut Heidegger sebagai momen otentik, dan disini dasein kemudian akan menemukan sebuah suasana hati mendasar yang menunjuk pada kekosongannya, di sini ia bertemu dengan ‘ada’nya.
Suasana hati itulah yang nanti dibicarakan Heidegger kemudian dalam menyingkap ‘ada’ (‘ada’ merupakan keumuman metafisik dari ‘aku’ subjektif), ialah angst (kecemasan) suasana hati tanpa objek ia ditala dan bergerak menuju ada. Jika dihubungkan dengan horizon temporalitas, di sini dasein menemukan kemungkinannya dalam ketiadaan, ada menuju kematian (sein zum tode). Heidegger menggambarkan dua momen sikap desein ini dengan kata yang begitu puitis. “manusia itu benar sekaligus palsu. Bukan karena orang sengaja menjadi benar sekaligus palsu, malainkan karena ‘ada’ manusia itu sendiri tidak tersingkap seluruhnya seperti juga tidak seluruhnya terselubung”.
Seluruh hubungan dasein dalam Ada-dalam-dunia menandakan bahwa dasein jauh berbeda dengan terletaknya entitas lain dalam dunia. Bagi dasein, dunia tidak sama dengan bumi atau alam-semesta belaka, melainkan dunia yang dalam sudut pandang dasein sebagai suatu tempat untuk dimukimi. Bahwa dasein Ada-dalam-dunia, adalah bermukim di dunia. Ia kerasan dan memukimi dunianya, inilah korelasi yang lebih seimbang dari “aku” subjektif yang direfleksikan sebagai dasein dan yang-lain atau yang dipahami Heidegger sebagai seinde yakni adaan-adaan lain diluar dasein (diluar manusia).
Sekian artikel tentang Sosialitas Manusia, Hubungan Korelasi "Aku" dan "Yang Lain".