Kenalilah Rasa Cemas yang Tidak Rasional

April 16th, 2008

Anda cemas, boleh-boleh saja kok! Setiap orang pasti pernah mengalaminya. Rasa khawatir, gelisah, takut, waswas, tidak tenteram, panik dan sebagainya merupakan gejala umum akibat cemas. Namun sampai sebatas mana situasi jiwa berupa cemas itu dapat ditoleransi oleh seorang individu sebagai kesatuan utuh. Karena seringkali ”cemas” menimbulkan keluhan fisik berupa berdebar-debar, berkeringat, sakit kepala, bahkan gangguan fungsi seksual dan beragam lainnya.

Begitu banyak manifestasi gejala akibat cemas. Begitu banyak pula penderita yang terkecoh, menganggap fisiknya yang sakit, sehingga mereka gonta-ganti dokter sampai minta dilakukan operasi dan bahkan ada yang minta bantuan dukun. Dengan begitu, bahwa ‘cemas’ menjadikan seseorang tidak rasional lagi. Karena itu, selagi Anda masih dapat berpikir rasional, kenalilah gejala ‘cemas yang sakit’ (anxietas) itu.


Kecemasan pada umumnya berhubungan dengan adanya situasi yang mengancam atau membahayakan. Dengan berjalannya waktu, keadaan cemas tersebut biasanya akan dapat teratasi sendiri. Namun, ada keadaan cemas yang berkepanjangan, bahkan tidak jelas lagi kaitannya dengan suatu faktor penyebab atau pencetus tertentu. Hal ini merupakan pertanda gangguan kejiwaan yang dapat menyebabkan hambatan dalam berbagai segi kemampuan dan fungsi sosial bagi penderitanya.
Tidaklah mudah untuk membedakan cemas yang wajar dan cemas yang sakit. Karena keduanya merupakan respons yang umum dan normal dalam kehidupan sehari-hari.


Keadaan cemas yang wajar merupakan respons terhadap adanya ancaman atau bahaya luar yang nyata jelas dan tidak bersumber pada adanya konflik. Sedangkan cemas yang sakit (anxietas) merupakan respons terhadap adanya bahaya yang lebih kompleks, tidak jelas sumber penyebabnya, dan lebih banyak melibatkan konflik jiwa yang ada dalam diri sendiri.
Sebenarnya, di antara berbagai jenis gangguan cemas, yang umum dikenal adalah gangguan panik dan gangguan cemas menyeluruh (anxietas).

Anxietas
Cemas itu timbul akibat adanya respons terhadap kondisi stres atau konflik. Rangsangan berupa konflik, baik yang datang dari luar maupun dalam diri sendiri, itu akan menimbulkan respons dari sistem saraf yang mengatur pelepasan hormon tertentu. Akibat pelepasan hormon tersebut, maka muncul perangsangan pada organ-organ seperti lambung, jantung, pembuluh daerah maupun alat-alat gerak. Karena bentuk respons yang demikian, penderita biasanya tidak menyadari hal itu sebagai hubungan sebab akibat.


Apakah seseorang akan mengalami anxietas atau tidak dan berapa beratnya, sangat tergantung pada berbagai faktor. Faktor itu ada yang bersumber pada keadaan biologis, kemampuan beradaptasi/mempertahankan diri terhadap lingkungan yang diperoleh dari perkembangan dan pengalamannya, serta adaptasi terhadap rangsangan, situasi atau stressor yang dihadapi.


Setiap anxietas selalu melibatkan komponen kejiwaan maupun organobiologik walaupun pada tiap individu bentuknya tidak sama. Kebanyakan gejala tersebut merupakan penampakan dari terangsangnya sistem saraf otonom maupun viceral.
Penderita ada yang mengeluh menjadi sering kencing atau malah sulit kencing, mulas, mencret, kembung, perih di lambung, keringat dingin, berdebar-debar, darah tinggi, sakit kepala dan sesak napas. Pada sistem alat gerak dapat timbul kejang-kejang, nyeri oto, keluhan seperti rematik dan lainnya.


Pada kasus yang lebih berat dapat menimbulkan kepanikan. Pada orang-orang sibuk, eksekutif yang selalu mendambakan vitalitas dan kebetulan kena anxietas tetapi dia menyadari adanya gejala berupa darah tinggi atau berdebar-debar seperti mau serangan jantung, misalnya akan menimbulkan rasa takut yang berlebihan sehingga dapat menjadi stressor baru yang lebih besar.


Dengan demikian, hilang-timbulnya serangan anxietas menjadi siklus yang semakin lama semakin berat sehingga dapat menyebabkan penderita jatuh ke kondisi yang sangat buruk. Biasanya pengalaman terhadap serangan tersebut menjadi traumatik sehingga bila ada keadaan atau kejadian yang mirip dengan trauma tersebut akan menimbulkan serangan ulang.

Traumatik


Pada orang-orang yang menderita kecemasan menyeluruh, penghayatan terhadap kecemasannya secara subyektif lebih dirasakan daripada keluhan-keluhan fisik seperti berdebar-debar dan lainnya.


Hal buruk lainnya, terutama bagi pelajar atau orang aktif, dengan adanya anxietas adalah terganggunya proses pikir, konsentrasi yang dengan sendirinya juga mengganggu proses belajar dan persepsi. Keadaan ini akan menimbulkan hambatan dalam tugas dan kehidupan sehari-hari.


Selain itu, orang yang dalam keadaan takut dan cemas cenderung untuk selektif dalam berpikir dan menjadi tidak tajam pengamatannya terhadap hal-hal lain, kecuali akan hal-hal yang menghantui pikirannya dan kecemasannya. Akibatnya timbul sikap apriori dan berprasangka.


Pada gangguan panik umumnya, penderita datang ke dokter biasanya sudah menunjukkan penampilan dan ekspresi cemas yang jelas. Adapun gejala yang mencolok pada serangan pertama biasanya adalah gejala-gejala fisik seperti berdebar-debar, sesak dan sebagainya, yang datang secara mendadak, sehingga penderita menjadi takut dan cemas. Serangan selanjutnya akan dimulai dengan serangan cemas yang datang mendadak tanpa penyebab yang jelas. Dalam beberapa menit, perasaan cemas itu diikuti oleh keluhan berdebar-debar, sesak napas, keringat dingin dan sebagainya, sehingga cemas dan ketakutan kian menjadi-jadi. Bahkan seringkali disertai perasaan mau mati yang sangat mengganggu dan menyakitkan.


Walaupun serangan tersebut berlangsung tidak terlalu lama, setidaknya kurang dari satu jam, tetapi dampak cemas dan takut bisa berkepanjangan. Setiap kali mendapat serangan, penderita merasakannya sebagai pengalaman traumatik. Dan di antara serangan panik seringkali penderita mengalami gejala kecemasan yang bersifat antisipatorik. Keadaan ini berbeda dari anxietas pada cemas menyeluruh.
Keadaan traumatik menyebabkan penderita cenderung untuk mengaitkan serangan panik dengan situasi yang dianggap berkaitan datangnya serangan, misalnya kalau berada di tempat ramai, terjebak di jalan macet, bepergian sendiri dan sebagainya. Dengan demikian, bahwa gangguan panik berlanjut disertai agorafobia.
Sementara itu, pada gangguan cemas menyeluruh (GCM) biasanya mengalami gangguan yang berlangsung menahun. Keluhan utama yang menonjol adalah kecemasan/kekhawatiran yang berlebihan mengenai berbagai hal yang sebenarnya tidak beralasan. Kecemasan tersebut tidak hanya datang sesekali, tetapi hampir setiap waktu, lebih dari enam bulan.


Penderita GCM biasanya tidak dapat tenang, resah, gemetaran, cepat lelah, otot terasa sakit atau tegang disertai gejala saraf otonom seperti keringat dingin dan lainnya. Penderita jadi sangat peka sehingga seringkali mengeluh mudah terkejut, merasa terpojok, cepat tersinggung, susah konsentrasi dan tidur yang terganggu.
Dengan mengenali gejala-gejala tersebut timbul, mungkin Anda tidak akan terkecoh lagi dengan gangguan fisik akibat kecemasan yang tidak rasional, sehingga Anda bisa langsung minta bantuan dokter ahli jiwa untuk mengatasinya.
(redi mulyadi)

sumber : sinar harapan

Kecerdasan Spiritual (SQ)

April 16th, 2008

Latar Belakang

Pada suatu hari seorang guru fisika disebuah sekolah menengah menerangkan kepada para siswanya bahwa hidup manusia tidak lain adalah proses pembakaran. Mendengar keterangan sang guru itu, seorang siswa secara spontan melontarkan suatu pertanyaan tajam yang bernada menggugat,”kalau begitu, lalu apa artinya hidup manusia didunia ini?” (Frankl, dalam Koeswara, 1992).

Pembicaraan mengenai SQ atau kecerdasan spiritual tidak lepas dari konsep filosofis yang menjadi latar belakangnya. Konsep mengenai SQ itu sendiri sebenarnya sudah lama diperbincangkan, hanya saja dengan kemasan yang berbeda. Dalam ilmu psikologi dikenal tiga aliran besar yang menjadi inspirasi bagi banyak aliran yang berkembang pada saat kemudian. Aliran tersebut adalah behaviorisme, psikoanalisis dan humanistis.

Kecerdasan spiritual banyak mengembangkan konsep-konsepnya dari aliran humanistis. Aliran humanistis ini kemudian mengembangkan sayapnya secara spesifik membentuk psikologi transpersonal, dengan landasan “pengalaman keagamaan” sebagai peak experience, plateau dan fartherst of human nature. Menurut Maslow (Rakhmat dalam Zohar dan Marshall, 2000) psikologi belum sempurna sebelum difokuskan kembali dalam pandangan spiritual dan transpersonal. Penelusuran pemahaman kecerdasan spiritual (SQ) saat sekarang nampaknya cukup relevan, mengingat banyaknya persoalan-persoalan sosial yang semakin membebani hidup seseorang.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Frankl (Koeswara, 1992) bahwa sebagian besar masyarakat sekarang mengidap neurosis kolektif. Ciri dari gejala tersebut adalah:

1. Sikap masa bodoh terhadap hidup, yaitu suatu sikap yang menunjukkan pesimisme dalam menghadapi masa depan hidupnya.

2. Sikap fatalistik terhadap hidup, menganggap bahwa masa depan sebagai sesuatu yang mustahil dan membuat rencana bagi masa depan adalah kesia-siaan.

3. Pemikiran konformis dan kolektivis. Yaitu cenderung melebur dalam masa dan melakukan aktivitas atas nama kelompok.

4. Fanatisme, yaitu mengingkari kelebihan yang dimiliki oleh kelompok atau orang lain.

Dengan ciri-ciri tersebut manusia berjalan menuju penyalahartian dan penyalahtafsiran tentang dirinya sendiri sebagai sesuatu yang “tidak lain” (nothing but) dari refleks-refleks atau kumpulan dorongan (biologisme), dari mekanisme-mekanisme psikis (psikologisme) dan produk lingkungan ekonomis (sosiologisme). Dengan ketiga konteks tersebut maka manusia “tidak lain” dalah mesin. Kondisi tersebut merupakan penderitaan spiritual bagi manusia. Mengenalkan SQ Pengetahuan dasar yang perlu dipahami adalah SQ tidak mesti berhubungan dengan agama. Kecerdasan spiritual (SQ) adalah kecerdasan jiwa yang dapat membantu seseorang membangun dirinya secara utuh. SQ tidak bergantung pada budaya atau nilai. Tidak mengikuti nilai-nilai yang ada, tetapi menciptakan kemungkinan untuk memiliki nilai-nilai itu sendiri.

SQ adalah fasilitas yang berkembang selama jutaan tahun yang memungkinkan otak untuk menemukan dan menggunakan makna dalam memecahkan persoalan. Utamanya persoalan yang menyangkut masalah eksistensial, yaitu saat seseorang secara pribadi terpuruk, terjebak oleh kebiasaan, kekhawatiran dan masalah masa lalu akibat penyakit dan kesedihan. Dengan dimilikinya SQ seseorang mampu mengatasi masalah hidupnya dan berdamai dengan masalah tersebut. SQ memberi sesuatu rasa yang “dalam” pada diri seseorang menyangkut perjuangan hidup. Perbedaan Otak IQ, EQ dan SQ Penelusuran kecerdasan spiritual tampaknya merupakan jawaban akan keterbatasan kemampuan intelektual (IQ) dan emosional (EQ) dalam menyelesaikan kasus-kasus yang didasarkan atas krisis makna hidup. Otak IQ dasar kerjanya adalah berfikir seri, linear, logis dan tidak melibatkan perasaan. Keunggulan dari berfikir seri ini adalah akurat, tepat dan dapat dipercaya. Kelemahannya adalah ia hanya bekerja dalam batas-batas yang ditentukan, dan menjadi tidak berguna jika seseorang ingin menggali wawasan baru atau berurusan dengan hal-hal yang terduga. Otak EQ cara kerjanya berfikir asosiatif. Jenis pemikiran ini membantu seseorang menciptakan asosiasi antarhal, misalnya antara lapar dan nasi, antara rumah dan kenyamanan, antara ibu dan cinta, dll.

Pada intinya pemikiran inimencoba membuat asosiasi antara satu emosi dan yang lain, emosi dan gejala tubuh, emosi dan lingkungan sekitar. Kelebihan cara berfikir asosiatif adalah bahwa ia dapat berinteraksi dengan pengalaman dan dapat terus berkembang melalui pengalaman atau eksperimen. Ia dapat mempelajari cara-cara baru melalui pengalaman yang belum pernah dilakukan sebelumnya, merupakan jenis pemikiran yang dapat mengenali nuansa ambiguitas. Kelemahan dari otak EQ adalah variasinya sangat individual dan tidak ada dua orang yang memiliki kehidupan emosional yang sama. Hal ini tampak dari pernyataan “saya dapat mengenali emosi anda, saya dapat berempati terhadapnya, tetapi saya tidak dapat memiliki emosi anda”.

Otak SQ cara kerjanya berfikir unitif. Yaitu kemampuan untuk menangkap seluruh konteks yang mengaitkan antar unsur yang terlibat. Kemampuan untuk menangkap suatu situasi dan melakukan reaksi terhadapnya, menciptakan pola dan aturan baru. Kemampuan inimerupakan ciri utama kesadaran, yaitu kemampuan untuk mengalami dan menggunakan pengalaman tentang makna dan nilai yang lebih tinggi.

Tanda dari SQ yang berkembang dengan baik:

1. Kemampuan bersikap fleksibel (adaptif secara spontan dan aktif)

2. Tingkat kesadaran diri yang tinggi

3. Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan

4. Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit

5. Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai

6. Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu

7. Kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal (holistik)

8. Kecenderungan nyata untuk bertanya “mengapa?” atau “bagaimana jika” untuk mencari jawaban-jawaban mendasar

9. Mandiri SQ yang berkembang dengan baik dapat menjadikan seseorang memiliki “makna” dalam hidupnya. Dengan “makna” hidup ini seseorang akan memiliki kualitas “menjadi”, yaitu suatu modus eksistensi yang dapat membuat seseorang merasa gembira, menggunakan kemampuannya secara produktif dan dapat menyatu dengan dunia. Ungkapan syair yang dikemukakan oleh Gothe ini mampu mewakili karakteristik seseorang yang memiliki SQ (Fromm, 1987): Harta Milik Kutahu tak ada yang milikku Namun pikiran yang lepas bebas Dari jiwaku akan membanjir Dan setiap saat nan menyenangkan Yang oleh takdir yang cinta kasih Dari kedalaman diberikan buat kenikmatanku

Referensi:

Zohar, D. & Marshall, I. 2000. SQ: Spiritual Intelligence-The Ultimate Intelligence. Alih Bahasa: Rahmani Astuti dkk. Bandung: Mizan Media Utama.

Koeswara, E. 1992. Logoterapi: Psikoterapi Viktor Frankl. Yogyakarta: Kanisius Fromm, E. 1987. Memiliki dan Menjadi: dua modus eksistensi. Alih Bahasa: F.Soesilo- Hardo. Jakarta: LP3ES


By Ratna Eliyawati Sumber : untag.sby.ac.id

Tinjauan Kecerdasan Spiritual (SQ) Terhadap Permasalahan Sosial di Indonesia

April 16th, 2008

Rahmat Ismail

PP Himpunan Psikologi Indonesia

Abstrak

Krisis moneter yang menimpa beberapa negara di Asia Tenggara pada tahun 1997 telah membawa dampak yang sangat besar dalam kehidupan ekonomi, politik dan sosial di Indonesia.

Di Indonesia sangat dirasakan adanya krisis ekonomi yang dimulai dari kehancuran sektor perbankan, dilanjutkan dengan penarikan dana yang sangat besar dari Bank Indonesia dalam bentuk BLBI untuk penyehatan sektor perbankan. Akan tetapi justru yang terjadi adalah maraknya perdagangan valuta asing sehingga nilai tukar rupiah jatuh ke titik yang terendah.

Kemelut dalam bidang politikpun terjadi. Presiden Suharto setelah berkuasa lebih dari 32 tahun terpaksa harus meletakkan jabatan. Wakil Presiden saat itu, BJ Habibie, diangkat menjadi Presiden. Melalui Sidang Istimewa MPR RI, diputuskan adanya pemilihan umum dipercepat. Hasilnya terpilih Presiden baru Abdurrachman Wahid, yang juga tidak dapat bertahan lama karena dianggap sering mengambil keputusan yang kontroversial. Melalui Sidang Istimewa MPR RI Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri diangkat menjadi presiden.

Muncul berbagai permasalahan sosial di hampir seluruh wilayah Indonesia. Kerusuhan dengan latarbelakang kesukuan, agama, politik dan ekonomi telah memicu berbagai unjuk rasa, main hakim sendiri hingga pertumpahan darah.

Pendekatan yang memanfaatkan Kecerdasan Spiritual (Spiritual Intelligence) diharapkan dapat menjadi alernatif pemecahan masalah konflik sosial yang saat ini sedang terjadi di Indonesia.

Pendahuluan

Krisis moneter yang diawali sejak pertengahan tahun 1997 dan terjadi di Asia Tenggara, telah membawa dampak yang sangat besar dalam kehidupan bangsa-bangsa menjelang diberlakukannya Zona Perdagangan Bebas.

Dimulai dengan adanya guncangan ekonomi di Kerajaan Gajah Putih Thailand, dimana nilai tukar mata uang Bath yang selama 40 tahun terakhir berkisar sekitar 24 Bath untuk 1 dollar Amerika, pada bulan April 1997 telah terpuruk menjadi 50 Bath. Jatuhnya mata uang Bath ini menjadi pemicu dimulainya krisis ekonomi di Korea, Malaysia, Philipina, Singapura dan Indonesia.

Perbaikan yang dilakukan di negara-negara Thailand, Korea, Malaysia, Philipina dan Singapura dapat cepat membawa hasil, karena krisis yang mereka alami hanya menyangkut moneter saja. Berbeda dengan di Indonesia, dimana terjadinya krisis moneter telah diikuti pula oleh krisis politik yang pada akhirnya menjadi sebuah krisis sosial.

Krisis multi dimensi di Indonesia

Krisis ekonomi di Indonesia diawali sejak dilakukannya praktik perdagangan monopoli yang dilakukan oleh elit tertentu dan didukung oleh kekuatan politik yang ada. Kekuatan ekonomi yang dibentuk dan ditentukan oleh kekuasaan politik ini telah mendorong tumbuh suburnya korupsi di pelbagai lini birokrasi pemerintahan dan militer.

Dalam bidang keuangan, lembaga perbankan lahir dengan mudah karena persyaratan pendirian yang sangat ringan. Akan tetapi dalam perkembangannya, dana yang dikumpulkan oleh perbankan di Indonesia lebih banyak digunakan hanya untuk membiayai usaha dari kelompok pemilik bank itu sendiri. Karena sebagian besar dari usaha ini gagal, maka perbankan harus memikul beban kerugian yang sangat berat.

Akibatnya, likwiditas perbankan menjadi sangat lemah. L/C yang sudah dibuka dan jatuh tempo untuk dibayarkan, tidak dapat dicairkan oleh bank-bank di luar negeri. Oleh karena seringnya perbankan kalah kliring, mereka meminjam dari bank yang lain dengan bunga yang sangat tinggi. Untuk mengatasi permasalahan ini sekelompok pengusaha perbankan mengajukan permohonan bantuan likwiditas dari Bank Indonesia dan terjadilah penarikan uang negara secara besar-besaran yang diberikan kepada sekelompok pengusaha perbankan yang dikenal sebagai kasus Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI) pada bulan Nopember 1997. Di perkirakan dana BLBI tersebut sebagian besar tidak digunakan untuk menyehatkan keuangan perbankan di dalam negeri, melainkan dipindahkan ke luar negeri dipakai untuk spekulasi valuta asing. Fuad Bawazier, mantan Menteri Keuangan yang pernah memeriksa BLBI menyebut kasus ini sebagai “perampokan bank terbesar di dunia yang dilakukan secara terang-terangan di siang hari bolong”

Nilai tukar rupiah yang sebelum masa krisis masih bisa bertahan pada posisi sekitar Rp. 2.250 untuk 1 dollar Amerika telah merosot ke Rp. 4.000 pada saat BLBI dilakukan. Akan tetapi hanya dalam waktu 45 hari setelah BLBI dikucurkan, nilai tukar rupiah justru merosot empat kali lipat hingga mencapai titik terendahnya pada pertengahan Februari 1998 senilai Rp 16.000 untuk 1 dollar Amerika. Suatu nilai tukar yang tidak pernah terbayangkan akan terjadi menimpa ekonomi Indonesia.

NAMA BANK PENERIMA

JUMLAH POKOK

1. BDNI / Sjamsul Nursalim Rp. 37.040 milyar
2. BCA / Soedono Salim Rp. 26.596 milyar
3. DANAMON / Usman Atmadjaja Rp. 23.050 milyar
4. BUN / Bob Hasan Rp. 12.068 milyar
5. BIRA / Bambang Winarso Rp. 4.018 milyar
6. BHS / Hendra Rahardja Rp. 3.866 milyar

Tabel 1. Lima besar penerima BLBI (Sumber BI dan BPK)

Sebagai dampak dari merosotnya nilai tukar rupiah, terjadinya penguasaan perekonomian di tangan sekelompok pengusaha besar dan penumpukan kekayaan pada sekelompok orang saja, terutama di tangan pejabat negara dan militer yang korup, semakin menyebabkan rasa ketidak percayaan rakyat terhadap pemerintahan yang ada. Dipicu oleh pengunduran diri sejumlah Menteri Kabinet Pembangunan 2 bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri yang diprakarsai oleh Ginanjar Kartasasmita, Pemerintahan Soeharto yang telah berkuasa lebih dari 32 tahun berakhir dengan dibacakannya pengunduran diri Suharto sebagai presiden dan dilantiknya B.J. Habibie sebagai Presiden Indonesia ke tiga pada pagi hari Kamis 21 Mei 1998. Rezim Orde Baru yang telah berkuasa dengan sangat kokoh di Indonesia, ternyata tidak mampu untuk bisa membendung kehancuran perekonomian.

Sidang Istimewa MPR RI kemudian diadakan dan menetapkan dipercepatnya pelaksanaan pemilihan umum agar para wakil rakyat dapat memilih Presiden yang legitimate. Melalui hasil pemilu inilah kemudian MPR RI memilih Abdurrachman Wahid menjadi Presiden RI ke empat. Akan tetapi usia kepemimpinan Wahid inipun tidak dapat bertahan lama. Terjadi konflik antara lembaga eksekutif dan legislatif. Wahid yang seringkali mengambil keputusan yang kontroversial pada akhirnya mengeluarkan dekrit pembubarkan MPR RI. Hal ini menyebabkan reaksi MPR RI mencabut mandat yang telah diberikan kepada Wahid dan mengaangkat Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden ke lima Indonesia.

Konflik sosial di pelbagai daerah di Indonesia.

Bersamaan dengan terjadinya krisis ekonomi dan politik, konflik sosialpun bermunculan di berberbagai daerah. Bangsa Indonesia yang sebelumnya dikenal sebagai bangsa yang ramah dan memiliki tata krama yang sangat tinggi, seolah berubah menjadi bangsa yang brutal dan bengis.

Kerusuhan antar agama yang tidak dapat dibuktikan siapa pelakunya terjadi di Situbondo pada tanggal 10 Oktober 1996. Demikian pula di Tasikmalaya pada tanggal 26 Desember 1996 terjadi kerusuhan yang dipicu oleh adanya penganiayaan dua orang santri oleh polisi setempat.

Di Ambon terjadi pula kerusuhan antar agama pada tanggal 19 Januari 1999 terjadi tepat pada pada hari raya ‘Idul Fitri , di Galela, Maluku Utara terjadi pembantaian di dalam masjid pada bulan puasa Desember 1999 dan di Poso ditemukan ratusan mayat terapung di suangai Poso pada Mei 2000 menjelang pelaksanaan MTQ ke 19.

Konflik antar suku terjadi beberapa kali di Kalimantan antara suku Dayak dan Madura. Di Sanggauledo pada tanggal 29 Desember 1996, di Pontianak 29 Januari 1997 dan 25 Oktober 2000, serta di Sungaikunyit Hulu 18 Pebruari 1997. Kejadian paling parah terjadi di Palangkaraya pada 18 Pebruari 2001 dan berkembang hingga ke Sampit. Konflik antar suku ini telah menyebabkan terjadinya arus pengungsi etnis Madura ke Surabaya dan Pulau Madura secara besar-besaran.

Sejak bulan Januari hingga Oktober 1998, di 13 wilayah Jawa dan Madura, khususnya di daerah Tapal Kuda Jawa Timur terjadi pembunuhan massal yang bermula dari isu pembersihan dukun santet. Para ustadz dan kiai menjadi korban pembunuhan yang polanya mirip dengan pembunuhan yang dilakukan oleh PKI menjelang meletusnya G30S. Di Bekasi, Serang, Demak, Bangkalan, Lumajang, Situbondo dan Probolinggo ditemukan korban tewas dan luka-luka parah.

Kejadian yang paling mencolok adalah korban pembantaian yang tewas di Banyuwangi yaitu 85 orang, di Sumenep 23 orang, di Jember 17 orang, di Pasuruan 13 orang dan di Pamekasan 5 orang. sejak bulan Januari hingga Oktober 1998.

Di Aceh telah terjadi konflik sosial yang pada akhirnya tidak diketahui lagi siapa yang memulainya. Tentara membunuh rakyat, rakyat membunuh tentara. Rektor sebuah universitas dibantai, anggota legislatif dan eksekutif diculik dan dibunuh. Fasilitas umum diluluh lantakkan. Pemerintah pada akhirnya menyetujui untuk memberikan Otonomi Khusus bagi Aceh melalui Undang-undang Nanggroe Atjeh Darussalam.

Di Jakarta juga terjadi berbagai konflik sosial dengan latar belakang permasalahan yang beraneka ragam. Antara lain mulai dari perebutan lahan parkir, tertangkapnya pencuri, konflik antar kampung/suku, konflik politik hingga konflik antara mahasiswa dan tentara/polisi yang menyebabkan meninggalnya 3 orang martir mahasiswa Universitas Trisakti, Elang Mulia, Hafidin Royan dan Hery Hertanto pada tanggal 12 Mei 1998.

Konflik yang terjadi hampir di seluruh wilayah negara kesatuan Republik Indonesia ini menyebabkan terjadinya pergeseran nilai-nilai. Sementara nilai-nilai yang lama masih belum dapat ditinggalkan, nilai-nilai baru sudah berlaku di masyarakat. Dalam kondisi anomi ini, masyarakat hidup dengan penuh ketidak jelasan. Dapat dilihat dari sopan santun di jalan raya bagi pengendara kendaraan, saat ini sudah hampir tidak ada lagi. Kendaraan-kendaraan terutama yang besar-besar, melaju dengan sesuka hati mereka tanpa memperhitungkan bahaya yang mungkin bisa terjadi bagi pengendara lain. Sikap main hakim sendiri juga sudah merupakan kejadian sehari-hari, sehingga tidak jarang terjadi pengeroyokan hingga mati terhadap pencuri yang tertangkap basah.

Dalam kondisi sedemikian ini, diharapkan kita dapat memiliki kemampuan untuk menghadapi berbagai permasalahan ini dengan baik dan memecahkan persoalan-persoalan tersebut dengan mengetahui makna dan nilai yang terkandung di dalamnya.

Kecerdasan Spiritual sebagai alternatif pemecahan masalah konflik sosial

Menghadapi bebagai permasalahan konflik sosial yang saat ini sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia dan bahkan telah mulai menjurus kepada kemungkinan terjadinya disintegrasi bangsa, diperlukan kemampuan untuk dapat melihat permasalahan yang ada secara holistik, dimana kita dapat melihat dengan lengkap seluruh keterkaitan permasalahan dan mampu untuk bersikap secara luwes. Hal ini dimungkinkan apabila seseoang itu memiliki Kecerdasan Spiritual yang tinggi.

Danah Zohar dan Ian Marshal memberikan batasan tentang Kecerdasan Spiritual (Spiritual Intelligence) ini sebagai kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai.

Apabila dikaitkan dengan teori chaos, maka saat ini kita sedang berada pada titik “ujung”, yaitu titik pertemuan antara tatanan dan kekacauan. Antara yang diketahui dan yang tidak diketahui. Untuk itulah diharapkan agar kita memiliki kemampuan untuk dapat membaca makna dan nilai yang tekandung di dalamnya.

Kecerdasan Intelektual yang sangat dikenal sejak awal abad ke 20 dengan IQ (Intelligence Quotient), adalah merupakan perkalian 100 atas Usia Mental (MA, yang didapat melalui nilai test psikologi) dibagi dengan Usia Kalender (CA, yang didapat dari usia kelahiran). Kecerdasan ini digunakan untuk memecahkan masalah logika maupun strategis.

Daniel Goleman pada pertengahan 1990-an mempopulerkan Kecerdasan Emosional atau EQ (Emotional Quotion), adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara aktif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi. EQ merupakan persyaratan dasar untuk dapat menggunakan IQ secara efektif.

Ditinjau dari ilmu saraf, IQ merupakan hasil dari pengorganisasian saraf yang memungkinkan kita untuk berpikir rasional, logis dan taat asas. EQ yang memungkinkan kita untuk bepikir asosiatif yang terbentuk oleh kebiasaan dan memampukan kita untuk dapat mengenali pola-pola emosi. Sedangkan SQ memungkinkan kita untuk berfikir secara kreatif, berwawasan jauh membuat dan bahkan mengubah aturan.

SQ dengan demikian merupakan landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif dan merupakan jenis pemikiran yang memungkinkan kita menata kembali dan mentransformasikan dua jenis pemikiran yang dihasilkan IQ dan EQ.

Sekalipun SQ tidak sama dengan beragama, tidak harus berhubungan dengan agama dan beragama itu tidak menjamin dimilikinya SQ yang tinggi, namun tantangan untuk mencapai kecerdasan spiritual yang tinggi sama sekali tidak bertentangan dengan agama. Tetap diperlukan adanya kerangka acuan dari agama untuk dapat mempermudah kita dalam memahami makna dan nilai dalam kehidupan ini. Dengan demikian penguasaan agama akan membantu kita dalam mempermudah meningkatkan Kecerdasan Spiritual, sehingga kita dapat menangkap makna dan nilai-nilai dengan lebih baik.

Tanda-tanda dari SQ yang telah berkembang dengan baik adalah :

  1. Kemampuan bersikap fleksibel
  2. Tingkat kesadaran yang dimiliki tinggi
  3. Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan
  4. Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit
  5. Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai
  6. Keengganan untuk mengalami kerugian yang tidak perlu
  7. Kemampuan untuk melihat keterkaitan berbagai hal
  8. Memiliki kecenderungan bertanya “mengapa” atau “bagaimana jika” dalam rangka mencari jawaban yang mendasar
  9. Memiliki kemampuan untuk bekerja mandiri.

Dengan dapat terpenuhinya tanda-tanda SQ yang telah berkembang ini,diharapkan seseorang akan mampu untuk selalu membuka diri terhadap setiap pengalaman yang ditemuinya dan kemudian dapat menangkap makna yang terkandung di dalamnya. Seseorang akan menjadi tegar untuk menghadapi setiap permasalahan dan membuka diri untuk memandang kehidupan dengan cara yang baru.

Kesimpulan

Di dalam menghadapi berbagai konflik yang timbul sebagai akibat dari tidak segera diatasinya krisis multi dimensi yang saat ini sedang dihadapi bangsa Indonesia, pertama-tama sangat diperlukan adanya kemampuan untuk dapat melihat keterkaitan dari setiap permasalahan yang sedang dihadapi.

Dengan dimilikinya kemampuan untuk melihat permasalahan secara holistik, diharapkan kita dapat menjadi lebih fleksibel dalam menentukan etika baru yang akan kita pergunakan untuk menggantikan etika lama yang penuh dengan kekerasan dan kekejaman. Diperlukan pula adanya seseorang pemimpin yang penuh dengan pengabdian, mampu untuk melepaskan dirinya dari kepentingan-kepentingan sempit kelompok, aliran atau partai politik yang dianutnya dan kemudian menjadikan kepentingan mayoritas dari bangsa ini sebagai acuan sikapnya.

Kita harus dapat melepaskan diri dari pengaruh budaya masyarakat modern yang saat ini sangat dipengaruhi oleh humanisme barat, ternyata menurut Danah Zohar dan Ian Marshall memiliki SQ kolektif yang rendah. Manusianya berada dalam budaya yang secara spiritual bodoh yang ditandai oleh materialisme, kelayakan, egoisme diri yang sempit, kehilangan makna dan komitmen. Oleh karena itu ajaran-ajaran agama akan sangat membantu kita untuk dapat meningkatkan SQ agar dapat menjadi tinggi dan dapat keluar dari konflik sosial yang saat ini telah sampai pada “ujung”nya.

Kepustakaan

  1. Danah Zohar & Ian Marshall (2000), SQ: Spiritual Intelligence – The

Ultimate Intelligence, Great Britain: Blomsbury

  1. Robert K.C. & Ayman S (1997) , EXECUTIVE EQ, Emotional

Intelligence in Leadership and Organizations, NY: Advanced Intelligence Technologies

  1. Thomas M.H. (2000), Studying Psychology, Great Britain: Psychology Press Ltd.

Mengenal Kecerdasan Emosional Remaja

April 16th, 2008

Masa remaja dikenal dengan masa storm and stress dimana terjadi pergolakan emosi yang diiringi dengan pertumbuhan fisik yang pesat dan pertumbuhan secara psikis yang bervariasi. Pada masa remaja (usia 12 sampai dengan 21 tahun) terdapat beberapa fase (Monks, 1985), fase remaja awal (usia 12 tahun sampai dengan 15 tahun), remaja pertengahan (usia 15 tahun sampai dengan 18 tahun) masa remaja akhir (usia 18 sampai dengan 21 tahun) dan diantaranya juga terdapat fase pubertas yang merupakan fase yang sangat singkat dan terkadang menjadi masalah tersendiri bagi remaja dalam menghadapinya.

Fase pubertas ini berkisar dari usia 11 atau 12 tahun sampai dengan 16 tahun (Hurlock, 1992) dan setiap individu memiliki variasi tersendiri. Masa pubertas sendiri berada tumpang tindih antara masa anak dan masa remaja, sehingga kesulitan pada masa tersebut dapat menyebabkan remaja mengalami kesulitan menghadapi fase-fase perkembangan selanjutnya. Pada fase itu remaja mengalami perubahan dalam sistem kerja hormon dalam tubuhnya dan hal ini memberi dampak baik pada bentuk fisik (terutama organ-organ seksual) dan psikis terutama emosi.

Pergolakan emosi yang terjadi pada remaja tidak terlepas dari bermacam pengaruh, seperti lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah dan teman-teman sebaya serta aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Masa remaja yang identik dengan lingkungan sosial tempat berinteraksi, membuat mereka dituntut untuk dapat menyesuaikan diri secara efektif. Bila aktivitas-aktivitas yang dijalani di sekolah (pada umumnya masa remaja lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah) tidak memadai untuk memenuhi tuntutan gejolak energinya, maka remaja seringkali meluapkan kelebihan energinya ke arah yang tidak positif, misalnya tawuran. Hal ini menunjukkan betapa besar gejolak emosi yang ada dalam diri remaja bila berinteraksi dalam lingkungannya.

Mengingat bahwa masa remaja merupakan masa yang paling banyak dipengaruhi oleh lingkungan dan teman-teman sebaya dan dalam rangka menghindari hal-hal negatif yang dapat merugikan dirinya sendiri dan orang lain, remaja hendaknya memahami dan memiliki apa yang disebut kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional ini terlihat dalam hal-hal seperti bagaimana remaja mampu untuk memberi kesan yang baik tentang dirinya, mampu mengungkapkan dengan baik emosinya sendiri, berusaha menyetarakan diri dengan lingkungan, dapat mengendalikan perasaan dan mampu mengungkapkan reaksi emosi sesuai dengan waktu dan kondisi yang ada sehingga interaksi dengan orang lain dapat terjalin dengan lancar dan efektif.

Apa Sih Kecerdasan Emosional

Goleman (1997), mengatakan bahwa koordinasi suasana hati adalah inti dari hubungan sosial yang baik. Apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang lain atau dapat berempati, orang tersebut akan memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya. Lebih lanjut Goleman mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam meghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati.

Sementara Cooper dan Sawaf (1998) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosi menuntut penilikan perasaan, untuk belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari.

Selanjutnya Howes dan Herald (1999) mengatakan pada intinya, kecerdasaan emosional merupakan komponen yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi. Lebih lanjut dikatakannya bahwa emosi manusia berada diwilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi, dan sensasi emosi yang apabila diakui dan dihormati, kecerdasaan emosional menyediakan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain.

Dari beberapa pendapat diatas dapatlah dikatakan bahwa kecerdasan emosional menuntut diri untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain dan untuk menanggapinya dengan tepat, menerapkan dengan efektif energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. 3 (tiga) unsur penting kecerdasan emosional terdiri dari : kecakapan pribadi (mengelola diri sendiri); kecakapan sosial (menangani suatu hubungan) dan keterampilan sosial (kepandaian menggugah tanggapan yang dikehendaki pada orang lain).

Komponen-Komponen Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional bukan merupakan lawan kecerdasan intelektual yang biasa dikenal dengan IQ, namun keduanya berinteraksi secara dinamis. Pada kenyataannya perlu diakui bahwa kecerdasan emosional memiliki peran yang sangat penting untuk mencapai kesuksesan di sekolah, tempat kerja, dan dalam berkomunikasi di lingkungan masyarakat.

Goleman (1995) mengungkapkan 5 (lima) wilayah kecerdasan emosional yang dapat menjadi pedoman bagi individu untuk mencapai kesuksesan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu :

Mengenali emosi diri

Kesadaran diri dalam mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar kecerdasan emosional. Pada tahap ini diperlukan adanya pemantauan perasaan dari waktu ke waktu agar timbul wawasan psikologi dan pemahaman tentang diri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat diri berada dalam kekuasaan perasaan. Sehingga tidak peka akan perasaan yang sesungguhnya yang berakibat buruk bagi pengambilan keputusan masalah.

Mengelola emosi

Mengelola emosi berarti menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan tepat, hal ini merupakan kecakapan yang sangat bergantung pada kesadaran diri. Emosi dikatakan berhasil dikelola apabila : mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan bangkit kembali dengan cepat dari semua itu. Sebaliknya orang yang buruk kemampuannya dalam mengelola emosi akan terus menerus bertarung melawan perasaan murung atau melarikan diri pada hal-hal negatif yang merugikan dirinya sendiri.

Memotivasi diri

Kemampuan seseorang memotivasi diri dapat ditelusuri melalui hal-hal sebagai berikut : a) cara mengendalikan dorongan hati; b) derajat kecemasan yang berpengaruh terhadap unjuk kerja seseorang; c) kekuatan berfikir positif; d) optimisme; dan e) keadaan flow (mengikuti aliran), yaitu keadaan ketika perhatian seseorang sepenuhnya tercurah ke dalam apa yang sedang terjadi, pekerjaannya hanya terfokus pada satu objek. Dengan kemampuan memotivasi diri yang dimilikinya maka seseorang akan cenderung memiliki pandangan yang positif dalam menilai segala sesuatu yang terjadi dalam dirinya.

Mengenali emosi orang lain

Empati atau mengenal emosi orang lain dibangun berdasarkan pada kesadaran diri. Jika seseorang terbuka pada emosi sendiri, maka dapat dipastikan bahwa ia akan terampil membaca perasaan orang lain. Sebaliknya orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan emosinya sendiri dapat dipastikan tidak akan mampu menghormati perasaan orang lain.

Membina hubungan dengan orang lain

Seni dalam membina hubungan dengan orang lain merupakan keterampilan sosial yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain. Tanpa memiliki keterampilan seseorang akan mengalami kesulitan dalam pergaulan sosial. Sesungguhnya karena tidak dimilikinya keterampilan-keterampilan semacam inilah yang menyebabkan seseroang seringkali dianggap angkuh, mengganggu atau tidak berperasaan.

Dengan memahami komponen-komponen emosional tersebut diatas, diharapkan para remaja dapat menyalurkan emosinya secara proporsional dan efektif. Dengan demikian energi yang dimiliki akan tersalurkan secara baik sehingga mengurangi hal-hal negatif yang dapat merugikan masa depan remaja dan bangsa ini. Semoga. (jp)

Oleh: Zainun Mu’tadin, SPsi., MSi.

Optimisme, Penangkal Depresi dan Rendahnya Prestasi Pada Anak

April 16th, 2008

Optimisme, adalah obat penangkal depresi dan rendahnya prestasi. Sehingga, mereka yang dianugrahi rasa optimis dalam dada, seolah mampu menggenggam dunia dalam rengkuhan tangannya.

Ternyata, optimisme dapat dipelajari sedari kecil. Untuk itulah, peran orangtua dalam perkembangan mental anaknya menjadi sangat penting. Berdasarkan buku “Mengajarkan Emotional Intellegence Pada Anak” (Lawrence E Saphiro PhD), optimisme disebutkan lebih dari sekedar bakat kepribadian yang menarik. Sesungguhnya, optimisme bisa menjadi semacam imunisasi psikologis untuk menangkal segudang masalah hidup.

Yang terpenting, tulis E. Saphiro, optimisme merupakan keterampilan EQ yang dapat dipelajari. Namun sebelum orangtua mengajarkan optimisme pada anaknya, terlebih dahulu mereka harus mampu membedakan mana pikiran pesimistis dan mana pikiran yang optimistis.

Perbedaan terbesar adalah pada cara anak “menjelaskan penyebab peristiwa”, entah baik atau buruk. Kaum optimis percaya bahwa peristiwa positif yang membahagiakan bersifat;

  • Permanen (terus sepanjang waktu).
  • Pervasif (terus terjadi dalam situasi yag berbeda).
  • Merasa bertanggung jawab untuk mengusahakan terjadinya hal-hal yang baik.
  • Dirasakan sementara, jika sesuatu yang buruk terjadi.
  • Spesifik, untuk situasi yang bersangkutan.
  • Realistis, bila telah terjadi kejadian buruk.


Sementara itu, kaum pesimistis berpikir dengan cara yang berlawanan;

  • Peristiwa baik dianggap sementara.
  • Peristiwa buruk dianggap permanen.
  • Peristiwa baik terjadi akibat nasib baik, atau secara kebetulan.
  • Peristiwa buruk lebih banyak dipikirkan.


Menurut E. Saphiro, orang yang pesimistis juga cenderung membesar-besarkan kejadian buruk. Hal ini tidak baik untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, anak yang menangis dan merajuk akan membesar-besarkan kejadian dan menyelaraskan reaksi emosinya, bukan realitas sesungguhnya.

Bahaya Pesimisme
Pesimisme bukan cuma cara berfikir yang negatif, tetapi juga gejala yang merupakan ancaman terbesar bagi kesehatan anak-anak zaman sekarang, yaitu epidemi depresi.

Depresi dapat disembuhkan atau dihindarkan dengan mengajarkan cara-cara berpikir yang baru kepada anak-anak. Pikiran logis dapat dilatih untuk mengendalikan pikiran emosional.

Keuntungan Optimisme
Salah satu upaya mengalahkan depresi adalah dengan mengajari anak untuk bersikap lebih optimis. Anak optimis juga akan lebih berhasil dibandingkan teman-temannya yang pesimis. Yang penting, orangtua harus mampu menerapkan sikap “kemalangan adalah musuh yang harus dihindarkan”.

Lalu bagaimana menjadikan seorang anak optimis? Menurut E. Shapiro, adalah dengan berhati-hati dalam mengkritik sang anak.
Kritik yang betul dan kritik yang salah, keduanya dapat berpengaruh nyata, apakah kelak sang anak menjadi optimistik atau pesimistis.
Telitilah sebelum mengkritik. Menyalahkan secara berlebihan, akan menimbulkan rasa bersalah dan malu daripada yang diperlukan untuk membuat anak berubah. Namun tidak menyalahkannya sama sekali dapat mengikis rasa tanggung jawab.

Mengembangkan gaya pemberian penjelasan yang optimistik, uraikan masalah secara realistis apabila penyebabnya spesifik dan dapat diubah. Selain itu, E. Shapiro juga menekankan aspek-aspek EQ si anak. Menurutnya, orangtua wajib membantu anaknya dalam mengembangkan kemampuan memahami nuansa komunikasi emosional dengan mengajarinya bahasa emosi non verbal. Komunikasi emosi ini meliputi kesadaran atas prilaku non verbal orang lain (gerak tubuh, bahasa tubuh, ekspresi wajah, nada suara, dsb), dan komunikasi non verbal sang anak sendiri.

Komunikasi emosi ini juga dapat terjadi melalui cara orang berbicara. Yang penting diingat, optimisme bukanlah dukungan. Optimisme adalah cara positif dan realistis dalam memandang suatu masalah.

Orangtua pun dituntut lebih optimis dalam hidupnya. Mengingat, anak lebih mudah belajar atau meniru perbuatan dan perkataan orangtuanya.

Pengendalian Emosi
Belajar mengendalikan emosi merupakan tanda perkembangan kepribadian yang menentukan apakah seseorang sudah beradab. Kepribadian seorang anak yang sedang tumbuh, dibentuk oleh dua kekuatan besar. Yaitu, mencari kesenangan dan berusaha menghindari rasa pedih/tak nyaman.

Makin tinggi kesadaran seorang anak dan makin mampu ia menimbang berbagai pilihan, makin besar kemungkinan sukses yang akan diperolehnya. Dalam tahap ini, orangtua harus mampu mengendalikan ego dan kepekaan sang anak pada orang lain. Masalah emosi yang paling lazim dihadapi anak-anak masa kini adalah yang berhubungan dengan amarah.

Mengenai amarah tersebut, E. Shapiro mengingatkan;
Pengendalian emosi, khususnya pengendalian amarah dan agresivitas merupakan masalah emosi yang dihadapi anak-anak generasi millenium.
Sifat lekas marah serta kebiasaan mengungkapkan kemarahan tanpa kendali, akan memicu masalah emosi yang berbahaya.
Banyak cara merangsang bagian berpikir otak untuk membantu anak-anak mengekang dan mengendalikan marah.

Teknik penyelesaian konflik seperti berunding dan menjadi penengah, harus dijadikan bagian dari pendidikan anak.

Sumber: PdPersi